Pada tulisan sebelumnya, saya bahas tentang
Fatherless. Saya ada singgung tentang
memutus 'tali hitam'. Istilah tali hitam ini saya dapatkan dari Ibu Elly Risman, seorang psikolog senior, ketika pelatihan FIM 19. Tali hitam apa sebenarnya yang harus diputuskan? Kita akan bahas dalam tulisan ini.
|
sumber : medium.com |
Setiap orang pasti pernah mengalami masa kecil. Sebagian orang mendapat masa kecil yang indah. Namun, sebagian lagi mendapat satu dua kejadian masa kecil yang menyedihkan, hingga menyebabkan trauma hingga dewasa. Hal ini berkaitan sekali dengan istilah inner child.
Kalau saya terjemahkan secara bebas, inner child adalah jiwa kanak-kanak yang ada dalam diri kita, para orang dewasa. Apa yang biasanya paling anak-anak butuhkan? Rasa kasih sayang, perlindungan, kenyamanan, pengasuhan, pengayoman, penerimaan, pengertian. Hal-hal yang berbau perasaan dari orang tua kepada anak. Jika hal-hal mendasar ini tidak terpenuhi ketika kita masih kecil, maka dampaknya akan terasa sampai dewasa.
Orang yang terbiasa mendapatkan pola asuh keras dari orang tuanya, maka cenderung akan bersifat keras pula ketika berinteraksi dengan orang lain.
Orang yang terbiasa fatherless semasa kecilnya, akan buta bagaimana peran ayah yang sesungguhnya. Ini bisa mengakibatkan kebingungan bagi anak dalam menentukan identitas dirinya. Ibu Elly Risman pernah berkata bahwa pengidap LGBT (sorry, saya harus sebut 'pengidap' karena itu emang penyakit) kebanyakan adalah mereka yang fatherless semasa kecilnya dan mendapat pola asuh yang salah.
Inner child yang tak terpenuhi ini akan berimbas negatif pada pola pengasuhan ke generasi setelahnya. Yang sering dimarahin sama ibunya waktu masih kecil, akan marahin anaknya dengan cara yang sama juga, bahkan lebih parah kejamnya. Coba lihat sekeliling kita. Banyak kan yang begini kasusnya?
Lalu gimana caranya supaya inner child yang tidak terpenuhi ini tidak berefek negatif pada jiwa dewasa kita?
Saya ulangi, terima semuanya.
The past traumas, sadness, disappointments and depression cannot be changed and must be accepted. Becoming an adult means swallowing this "bitter pill," as I call it:
that, unfortunately for most of us, certain infantile needs were,
maliciously or not, unmet by our imperfect parents or caretakers. And
they never will be, no matter how good or smart or attractive or spiritual
or loving we become. Those days are over. What was done cannot be
undone. We should not as adults now expect others to meet all of these
unfulfilled childhood needs. They cannot. Authentic adulthood requires
both accepting the painful past and the primary responsibility for
taking care of that inner child's needs, for being a "good enough"
parent to him or her now--and in the future. (Stephen A. Diamond Ph.D)
Those days are over. What was done cannot be
undone.
Maka, mau ga mau, kita harus terima. Maafkan semua orang yang berperan dalam pembentukan karakter negatif dalam diri kita. Putuskan tali hitamnya. Jangan ulangi ke anak-anak kita.
Bismillah. Mari pelan-pelan kita putus tali hitam itu ya, Kawan.
Mari mulai belajar parenting.
Idaaa,cocok ngilmu (lagi) soal psikologi hehe, semangat daaa.
BalasHapusWah, segan awak sama anak psikologi tulen 😂
Hapus