Tulisan ini ditujukan untuk (calon) ayah, (calon) ibu, dan semua anak-anak di dunia.
Ada hal yang buat saya resah belakangan ini, terlebih setelah membaca buku Saatnya Ayah Mengasuh (SAM) dan Saatnya Ibu Menjadi Ibu (SIMI) karangan pasutri Ulum A. Saif dan Febrianti Almeera.
|
sumber : shopee.co.id |
Fakta bahwa Indonesia berada di peringkat ketiga Fatherless Country buat saya nyesek. Fatherless artinya ada ayah secara fisik dalam keluarga, tapi tidak secara psikis. Absen secara psikis maksudnya tidak memiliki kedekatan emosional dengan anak. Tidak pernah main dengan anak. Tidak pernah mengelus kepala anak, memeluk, mencium sebagai tanda cinta. Tak pernah memuji anak. Tugasnya hanya bekerja. Bagi ayah tipe ini, pengasuhan sepenuhnya jadi tanggung jawab ibu. Ini tentunya memberikan efek besar pada perkembangan anak.
Fakta sama yang juga dinyatakan oleh psikolog senior, Ibu Elly Risman, ini semakin kuat ketika di lapangan saya menemukan banyak sekali kasus fatherless dengan berbagai variasi yang bersumber dari cerita teman-teman saya sendiri. Ada yang ayahnya ada tapi kurang giat bekerja, sehingga ibu harus lebih keras banting tulang. Ada yang ayahnya ada tapi tinggal tak serumah dengan anak-anaknya. Ada yang ayahnya pergi bersama perempuan lain selain ibunya. Ada pula yang ayahnya sudah meninggal dunia, tapi tak ada orang lain yang menggantikan peran ayah dalam pengasuhan.
Saya tidak sedang mencoba menggiring opini bahwa semua laki-laki kelak berpotensi jadi Fatherless. No. Banyak juga kok ayah yang punya peran sangat cemerlang di rumah. Tidak terpengaruh punya satu atau lebih dari satu istri. Mereka tetap jalankan perannya dengan baik hingga anak-anaknya mengenang kesan yang baik tentang ayah mereka.
Kalau kamu merasa bahwa ayahmu termasuk ke tipe fatherless, tak apa, Kawan. Tugas kita adalah memutuskan tali hitamnya. Memaafkan semua orang yang berperan dalam pembentukan karakter buruk dalam diri kita. Dan tidak mengulangi hal-hal buruk yang kita dapat dahulu ke anak-anak kita kelak.
Ibarat lukisan, anak-anak adalah kanvas putih. Orang tua lah yang menjadi pelukisnya dengan warna-warni cat. Maka, pastikan setiap warna yang kita lukiskan itu punya makna yang baik. Pastikan anak-anak kita kelak memiliki ayah dan ibu baik secara fisik maupun psikis.
Semoga keresahanku ini, bisa jadi keresahanmu juga, duhai (calon) orang tua di seluruh dunia. Mari belajar jadi orang tua mulai sekarang.
Salam,
Ida Mayasari.
---
Referensi :
Komentar
Posting Komentar
jangan sungkan untuk berkomentar ya :)