Tahun lalu, akhir Oktober 2017 adalah masa-masa paling tidak terlupakan sepanjang hidupku. Pasalnya, aku dan 167 orang pemuda Indonesia lainnya terpilih menjadi peserta Forum Indonesia Muda 19. Sebuah kebahagiaan tiada terperih bisa menjadi bagian dari keluarga kunang-kunang ini.
Sebulan kemudian, aku bergabung ke FIM regional Sumut. Sebuah pengalaman baru lagi, bertemu dengan wajah-wajah yang tak pernah kutemui di organisasi kampus (kecuali beberapa member FIM 19). Orang-orang istimewa ini memang ternyata tempat mainnya bukan di organisasi kampus, tapi di komunitas eksternal atau bahkan langsung pengabdian ke masyarakat.
Namun, masuk ke komunitas luar kampus tidak semudah yang kukira, Ferguso.
Banyak pergolakan batin yang kuhadapi. Mulai dari ketidakteraturan administrasi, susunan kepengurusan yang belum terstruktur rapi, hingga pola komunikasi antar anggota komunitas yang terlalu terbuka.
FYI, aku hanya terbiasa di organisasi kampus yang cenderung homogen, dengan sistem yang sudah tertata cukup rapi. Aku belum bisa move on dari kehangatan keluarga yang lama.
Bergerak di FIM Sumut adalah sebuah tantangan baru bagiku. Pergolakan batin ini berlangsung beberapa bulan. Hingga akhirnya... Aku menyadari banyak hal.
Ini hanya tentang bagaimana perspektif kita memandang sesuatu.
Jika kita merasa terdampar di desa terpencil, sedang kita biasa hidup di kota besar dengan segala kemewahan dan kelengkapan fasilitasnya, pasti ada maksud Allah memilih kita.
"Why me, Allah?", tanya kita.
"Why not?", jawab Allah.
Maka, aku memutuskan untuk memperbaiki atau lebih tepatnya membangun sistem baru di komunitas. Tentunya tidak sendirian. Ada teman-teman lain yang meskipun tidak banyak, tapi kehadiran mereka adalah segalanya dalam perjuangan ini.
Ketika batin sudah selesai menderu-deru, sudah tak lagi mengeluh, sudah ridho menjadikan FIM Sumut sebuah rumah baru tempat hati berlabuh, saat itulah aku mendapati banyak sekali kebaikan yang ternyata aku lewatkan selama ini.
Aku belajar memahami setiap individu dan menemukan formula yang tepat agar bisa nyambung dengan mereka.
Aku belajar menjadi orang yang tak lagi kaku, lebih moderat, tapi tetap memegang prinsip.
Aku akhirnya memahami secara langsung kata-kata mutiara yang dulu digaung-gaungkan, "membaur tapi tidak melebur".
Aku menyadari bahwa teladan lewat perilaku jauh lebih berpengaruh dibanding lewat kata-kata semata.
Ternyata... Selama ini, akulah yang menutup diri. Merasa sudah berpengaruh di organisasi fakultas. Lantas, jumawa dan lupa bahwa ada banyak lahan kebaikan lain di luar sana.
Ternyata... Selama ini, akulah yang tak mampu menyesuaikan diri. Lantas, mengeluhkan keadaan yang jauh dari kondisi ideal. Padahal, itulah lahan kebaikan yang harus digarap.
Ternyata... Selama ini, akulah yang egois. Dan seiring waktu, aku harap keegoisan itu bisa tergerus.
Menjadi bagian dari keluarga kunang-kunang adalah sebuah kebahagiaan. Aku tak ingin menukarnya dengan apapun, kecuali ridha-Nya.
Aku menyanyangi kalian, kunang-kunangku.
Komentar
Posting Komentar
jangan sungkan untuk berkomentar ya :)