Suatu ketika, aku membaca buku Milea dan menemukan sebuah kutipan yang ternyata pernah di-tweet oleh pengarang bukunya.
Dan terlahirlah sebuah puisi yang terinspirasi dari kutipan itu.
--
Silakan jatuh cinta pada siapapun yang kau mau.
Itu urusanmu. Aku tak akan larang.
Maka, jangan pula kau paksa aku.
Untuk berhenti mencintai yang ku mau.
Meski itu adalah kau.
Sebab itu urusanku.
(Januari 2018)
--
Beberapa bulan setelahnya, aku membukukan puisi-puisi lama yang tercecer. Termasuk puisi itu. Dan kubiarkan orang-orang sekitar membaca buku itu.
Rani, adik kelas sekaligus anak kos di rumah, kemudian bertanya, "Kak, puisi ini kenapa kesannya egois gitu?"
Aku tersenyum. Pertama sekali membaca tulisan itu aku juga beranggapan yang sama. Hingga akhirnya, aku mengerti itu bahwa sibuk pada urusan masing-masing (dalam hal ini: mencintai), bukanlah sebuah keegoisan. Justru
sebuah cara untuk menghindari keegoisan.
Rani semakin bingung.
Jika ada orang yang suka pada kita, tapi kita tidak suka padanya, apa kita punya hak untuk membencinya?
Tidak. Karena dia juga punya hak untuk mencintai. Sama halnya, seperti kita yang menyukai seseorang, walaupun orang itu tidak tahu akan hal itu.
Sampai sini, paham?
Begini. Kita boleh menolak cinta seseorang, jika dia mengungkapkannya dan memberikan penawaran yang kita tak mau terima —lamaran, misalnya—. Namun, sebelum atau setelah penolakan itu,
bukankah egois namanya jika kita membenci orang tsb hanya karena kita tak punya rasa yang sama padanya sebagaimana dirinya pada kita?
Cermati sekali lagi.
Banyak dari kita, termasuk aku dulunya, ketika ga suka dengan seseorang yang suka denganku, ku cenderung menjauh, membuat tembok, dan bahkan membenci orang tsb. Maafkeun aku yang dulu. Aku yang dulu bukanlah yang sekarang~ *tarikmang
Padahal, mungkin doi juga tidak tahu bagaimana rasa suka itu bisa datang padanya dan kebetulan berhentinya di kita?
Kita tidak perlu merasa risih jika tahu ada orang yang ketahuan suka dengan kita. Tidak perlu juga merasa salah tingkah ketika bertemu dengannya dalam sebuah peristiwa. Apalagi sampai jaga jarak terlalu jauh, hingga membenci. Biasa saja lah.
Kita harus menjadi dewasa. Apa yang telah berlalu, biarkan berlalu. Apalagi perkara perasaan. Inget ya, hati manusia ini ada di antara jari-jemari Allah. Hari ini bisa cinta, besok bisa benci. Begitu sebaliknya, jika Allah menghendaki.
Mari kita belajar menjadi pribadi yang menerima segala ketentuan Rabb-nya dengan lapang dada.
So, kalau besok diundang mantan ke nikahannya (dan kita belum menikah), dateng aja ya. Kalau besok ada acara yang kebetulan si doi —yang pernah ta'arufan sama kita tapi gagal— hadir di situ, ya dateng aja.
Kenapa hanya karena perkara perasaan yang telah berlalu, kita jadi terlalu ringkih dan pemalu?
Toh, setiap orang sudah ada jodohnya. Tinggal menunggu waktu. Jadi, santai sajalah. Kita akan sama-sama bahagia. Semua akan indah pada waktunya.
Jadi, benar kan fokus pada urusan masing-masing (dalam perkara mencintai) itu bukanlah sebuah keegoisan?
Kecuali, fokus pada urusannya sampai menyakiti dan merugikan orang yang dicintai. Nah, itu beda kasus.
Matur nuwun. Salam jomblo fiisabilillah.
Komentar
Posting Komentar
jangan sungkan untuk berkomentar ya :)