Ini adalah self-talk di bulan Syawal. Sebuah penggalan yang telah dipilahpilih, hingga hanya menampilkan yang terbaik. Yang buruk biar ditutup rapat sebagaimana yang Allah suruh.
Ini adalah bentuk apresiasi pada diri saya sendiri. Sebuah pelecut semangat bahwa setahun terakhir saya ga gabut dan mendapatkan pengalaman dan pelajaran yang worth it.
Setahun akhir, terhitung sejak akhir April (setelah seminar proposal), saya disibukkan dengan pencarian teman kos yang baru karena kak Dani teman sejak lahir, akan diboyong suaminya ke rumah baru. Dan beberapa hari sebelum Ramadhan, Allah kirimkan.
Allah tahu saya banyak kurangnya, banyak malesnya. Maka Allah kirimkan partner yang kami bisa belajar masak bersama, diskusi bersama, mengobrol hingga larut, hingga memandang bintang bersama sambil makan bakso mas kojek yang lewat di depan rumah.
Allah tahu saya banyak egonya, maka dikirimkan saya teman penggerus ego, teman belajar berlapang dada, dan teman belajar menjadi shalihah.
Setahun berdua saja di rumah memberi saya banyak pelajaran tentang hidup bersama. Hitung-hitung latihan sebelum berumah tangga kelak. Azeg.
Belajar memasak tanpa didampingi yang ahli adalah sebuah pengalaman berkesan. Finally, saya paham mengapa ibu atau kakak marah ketika makanan yang sudah dimasak tidak habis dimakan. Finally, saya paham kenapa yang masak tiba-tiba jadi tak selera makan jika sudah hidangkan masakan (yang baru dimasaknya). Finally, saya paham rasa bahagia ketika masakan kita diterima dan diafirmasi positif oleh orang lain.
Allah sungguh baik.
Lalu, dimudahkan-Nya saya untuk mengikuti kelas Tahsin di sebuah lembaga belajar. Keinginan yang akhirnya terpenuhi. Keinginan yang harusnya sejak saat sebelum mengajukan judul penelitian sudah saya upayakan.
Masuk di level 2 dan lulus hingga akhir level 3 dan lulus ke level 4 bukan hal yang mudah jika bukan Allah yang mudahkan. Saya banyak belajar. Terutama, belajar menggerus keangkuhan akan kemampuan intelegensi yang kadang buat keki. Saya tidak pintar, jika bukan Allah yang karuniakan kepintatan.
Lalu, saya keluar dari sebuah komunitas. Sebuah keputusan berani tanpa berpikir apakah setelah itu akan bertemu komunitas kekeluargaan lain yang sama hangatnya.
Tapi lagi lagi, Allah sungguh baik.
Di tengah pencarian "rumah" dan "keluarga" baru, Allah luluskan saya pada seleksi Forum Indonesia Muda 19.
Tak ada yang mudah, jika bukan Allah yang mudahkan.
Menjadi bagian dari keluarga kunang-kunang, adalah kebahagiaan yang hakiki. Sebuah karunia yang besar, di luar ekspektasi saya tentang "keluarga" baru.
Saya hanya berharap keluarga baru itu ada pada komunitas kecil dalam lingkupan kota, dengan orang-orang yang bisa dihitung jari. Tapi, justru Allah beri yang satu Nusantara bahkan dunia, dengan orang-orang yang tak lagi terhitung jumlahnya. Dengan kehangatan yang melebihi harapan saya. Kehangatan yang berbeda, namun tetap nyaman.
Allah sungguh baik.
Dan satu hal lagi yang paling mengesankan. Allah izinkan saya mendirikan sebuah tim kecil dengan orang-orang luar biasa. Kami lalu melahirkan seorang bayi mungil bernama Kak Rizmi. Bayi yang ternyata mencuri hati banyak orang dan banyak orang yang peduli padanya.
Tanpa Allah, tim ini tidak akan berkembang begitu hangat dan bahagia.
Jika di organisasi dahulu saya lebih banyak belajar jadi jundi, kini saya benar banyak belajar jadi qiyadah. Sesuatu yang ternyata sama sekali tidak mudah.
Setahun kemarin saya juga diizinkan ikut tes STIFIn. Tes yang sudah lama dicita-citakan, tapi baru terlaksana beberapa bulan kemudian.
Allah takdirkan saya bermesin kecerdasan Thinking introvert. Sudah Thinking, introvert pula. Jika diambil dari sisi negatif, adalah si keras kepala berkepala batu, berhati baja. Tapi, saya yakin Allah ingin saya memiliki pendirian yang kuat dengan keteguhan hati yang dalam dan pemikiran yang luas.
Saya jadi menyadari potensi saya sejak ikut tes STIFIn. Saya juga jadi belajar lebih memahami orang lain, berdasarkan mesin kecerdasannya. Dan ini benar-benar sangat berguna dalam hablum minannas.
Allah, sungguh baik Engkau.
Begitu banyak nikmat yang Engkau beri selama setahun terakhir. Tentu saja bukan hanya berbentuk kebahagiaan, tapi juga nikmat kesedihan. Sedihnya, saya belum juga sarjana, dompet sempat hilang dijambret orang, dan saya belum menikah. *eh
Nikmat atau ujian? Apapun itu, duhai Allah. Yang penting, Engkau baik. Dan hamba ingin senantiasa berprasangka baik pada-Mu.
Sebagaimana prasangka nabi Adam kala diusir dari surga dan dipisahkan dari istrinya.
Sebagaimana prasangka nabi Nuh kala ditolak oleh kaumnya.
Sebagaimana prasangka nabi Ibrahim kala harus meninggalkan dan menyembelih anak semata wayangnya, dan kala ia harus dibakar oleh raja yang durjana.
Sebagaimana prasangka nabi Yunus kala tenggelam dan dimakan ikan paus.
Sebagaimana prasangka nabi Yusuf kala dimasukkan ke dalam sumur dan penjara.
Sebagaimana prasangka ibunda Maryam yang suci kala diusir dari kampung dan harus melahirkan seorang diri di bawah pohon.
Sebagaimana prasangka Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam kala dilempari batu oleh penduduk Thaif.
... وَأَدْعُو رَبِّي عَسَىٰ أَلَّا أَكُونَ بِدُعَاءِ رَبِّي شَقِيًّا (Maryam : 48)
"... dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku"
Setahun kemarin, sepertinya saya tidak berkembang dalam status sosial. Namun, saya berkembang dalam wawasan pemikiran dan semakin matang dalam emosional. Semoga di mata Allah juga ada perkembangan.
Alhamdulillah 'ala kulli hal.
Happy Syawal. Mari berbenah lagi.
@idamysari
Komentar
Posting Komentar
jangan sungkan untuk berkomentar ya :)