Ketika tarawih tadi, saya beranikan diri merangsek dari shaf luar mesjid ke dalam mesjid yang terlihat padat. Berharap ada satu celah kosong untuk badan saya yang mungil ini. FYI, di dalam mesjid ada AC dan kipas angin. Jadi adem.
Ternyata celah kosong itu ada di depan. Para jama'ah sebagian sudah takbiratul ihram. Saya di barisan ketiga, hampir menyerah dan berniat mundur keluar mesjid kembali. Tapi ibu-ibu di sebelah saya justru dengan mantap bilang, "Udah, maju aja!"
Karena #thepowefofemakemak, saya merasa dapat kekuatan baru dan berhasil sampai di shaf paling depan.
Tapi, perjuangan belum berakhir. Di shaf depan, sebagian besar jama'ah sudah shalat. Saya maksa nyelip di antara sedikit celah. Saya ulang, sedikit celah. Sempit. Sampai akhir shalat isya' dan ceramah, kesempitan itu masih terasa.
Alhamdulillah ketika tarawih dimulai, shafnya jadi lumayan renggang. Dan masalah klasik muncul. Emakemak Indonesia suka ruang yang lebar, tidak mau merapatkan shaf. Saya merasa sedih.
Cerita kesempitan ini, mengingatkan saya pada peristiwa yang dulu saya pernah alami. Peristiwa yang hampir mirip.
Kala itu, adalah Subuh perdana saya di Masjidil Haram Makkah Al-Mukarramah. Kami, saya dan rombongan, masuk lewat pintu utama, Umar bin Abdul Aziz. Merangsek ke depan Ka'bah, berharap bisa shalat tepat di depannya. Tapi, jama'ah lain sudah duluan ambil tempat.
Kami lalu turun melewati beberapa anak tangga. Ternyata itu adalah ruang shalat yang letaknya lebih rendah dari lantai mesjid. Saya sebut, ruangan shalat bawah tanah.
Jama'ah juga penuh. Padat. Alhamdulillah, kami dapat tempat. Tapi semakin lama, semakin padat dengan jama'ah lain yang memaksa masuk ke shaf yang telah rapat.
Subuh di Masjidil Haram dibawakan oleh Imam yang suaranya sering kita dengar di murattal. Merdu dan syahdu, dengan bacaan ayat Qur'an yang lebih panjang dari shalat wajib lainnya.
Tapi ternyata, ruangan bawah tanah itu tak memiliki pendingin ruangan (atau saya saja yang tak perhatikan). Panas dan sesak. Untuk duduk tahiyat saja penuh perjuangan. Ditambah lagi, saat itu alergi dingin saya masih kambuh. Hingga sekujur tubuh terasa gatal seperti diserang jama'ah semut. Panas, sempit, dan gatal. Komplit.
Itu adalah shalat tersesak plus terpenuh perjuangan yang pernah saya rasakan seumur hidup. Masyaallah. Alhamdulillah.
Tapi ya, kalo dipikir-pikir. Harusnya banyak bersyukur karena masih bisa shalat dengan aman dan nyaman di mesjid. Bersyukur meskipun berdesakan, tapi itu Masjidil Haram.
Astaghfirullah. Allahummaghfirlii..
Ketika tarawih tadi, selain jadi teringat masa umroh, saya juga jadi teringat dan rindu emak di kampung. Setiap akhir shalat, dan sebelah saya ibu-ibu, saya selalu salam dengan takzim. Bayangin itu tangan ibu saya yang tiap hari menengadah berdo'a untuk saya.
Masyaallah. Saya rindu banget sama Mamak. Tapi gengsi mau bilang.
Uda ah. Saya jadi baper. Dah lama banget ga curcol di blog. Sekalinya curcol, malah songong dan baper sendiri.
Ambil yang baik, buang yang buruk. Selamat menunaikan ibadah puasa.
Komentar
Posting Komentar
jangan sungkan untuk berkomentar ya :)