Dulu, saya pernah suka dengan seseorang. Mendengar atau membaca namanya buat hati saya berdesir. Melihat sosoknya membuat pikiran saya jadi acakadul.
Saat itu, saya kayak dinas perhubungan yang suka hubung-hubungin simpul A ke B. Seolah logis dan masuk akal, saya ngerasa kayaknya doi juga ngerasain hal yang sama.
Suatu ketika, saya memutuskan untuk keluar dari lingkaran dan menilai keadaan secara objektif.
Saya posisikan diri sebagai seorang yang ga begitu mudahnya terbawa suasana. Setiap keadaan yang selama ini menjadi "korban" dinas perhubungan saya, saya analisis lagi.
Apakah benar doi merasakan hal yang sama, atau ini cuma kegeeran saya semata?
Sampai akhirnya, saya dapat hipotesis yang mengejutkan. Ternyata, semua kondisi yang selama ini saya hubung-hubungkan adalah kondisi yang sebenarnya tak ada istimewa-istimewanya.
Semua hal yang bisa jadi adalah kesamaan, atau mendukung prasangka saya, sebenarnya itu adalah hal yang wajar dan tak seharusnya diambil hati.
Yes, ternyata selama ini saya yang kegeeran.
Sejak detik itu, saya memutuskan untuk tak lagi memakai feeling untuk perkara yang tak seharusnya. Menjadi biasa saja. Menjadi si tak peka untuk masalah suka-menyuka.
Lalu apa yang terjadi?
Beberapa waktu kemudian, saya berhasil keluar dari zona setan tersebut. Saya bisa memposisikan hati menjadi netral pada siapa saja, sekuat apapun fakta lapangan mencoba menggebrak hati saya. Sekuat apapun setan membisikkan godaan mautnya.
Saya berlindung kepada Allah saja.
Sebab apa?
Sebab saya khawatir, jika kebaperan terus dipelihara, maka akan berdampak pada keberkahan di masa depan.
Saya hanya ingin, menyimpan sebuah ruang yang benar-benar kosong di hati untuk nantinya dihuni oleh orang yang tepat, orang yang kelak menjadi ayah dari anak-anak saya, yang akan membimbing saya dan keluarga ke jalan kebaikan. Saya tak membatasi pada si X atau si Z.
Sekuat apapun pintu ruangan itu didobrak, baik oleh setan atau orang-orang tak berkepentingan, saya memohon pada Allah agar selalu dikuatkan.
Saya tak mau menutup peluang-peluang yang bisa muncul di masa depan. Saya tak mau jadi hamba yang egois, yang hanya menuruti kemauannya sendiri. Sedang Allah bisa jadi telah mempersiapkan sesuatu yang lebih besar, seseorang yang lebih spesial di masa yang akan datang.
Beberapa teman bahkan begitu penasaran dan bertanya pada saya perkara ini.
"Bagaimana pendapat Ida mengenai orang-orang yang secara kasat mata terang-terangan mencoba mendobrak pintu itu?", begitu kira-kira pertanyaan mereka jika dianalogikan.
Jawaban saya analogis saya adalah..
"Saya tak bisa menjauh dari para pendobrak. Saya tak bisa melarikan diri dan memutuskan silaturahim. Biarkan dobrak-mendobrak menjadi urusan mereka. Dan memohon kekuatan jiwa agar pintu tak jebol menjadi urusan saya. Saya tak mau menutup segala peluang dan kemungkinan baik apapun yang bisa terjadi di masa depan."
Apapun itu, selagi Allah suka, maka saya juga.
Saya hanya ingin terus memperbaiki diri. Menguatkan hati. Menyediakan sebuah ruang yang lapang untuk nantinya dihuni oleh kelemahan dan kelebihan dari sosok yang akan datang.
Siapapun itu, pasti tak akan mudah bagi kita, jika bukan Allah yang mudahkan. Siapapun itu, sesempurna apapun ia dipandangan manusia, ia pasti punya kelemahan yang akan muncul satu per satu setiap detiknya. Kekurangan yang bisa jadi akan membuat kita hilang rasa.
Dan tugas kita sebagai pendamping adalah menerima dan menetralisir semua kekurangan itu dan menyadari bahwa kita juga punya kekurangan yang tak sedikit.
Maka, habiskan egonya sekarang. Belajar berlapang dada sejak kini. Dan tetap tawakkal pada Allah untuk semua peluang-peluang baik di masa depan.
Allah know us more than we know ourselves.
©idamysari | Mei 2018
"Menjadi biasa saja. Menjadi si tak peka untuk masalah suka-menyuka"
BalasHapusAsyiknya seperti itu 😊🌼
hai, eva. perkenalkan, aku gadis biasa yang tak peka untuk masalah suka-menyuka. :)
Hapus