Kali ini, saya akan cerita tentang salah satu momen tragis yang saya lalui di masa lalu, dan mempengaruhi kehidupan saya di masa sekarang.
Momen paling tragis semasa SD bagi saya adalah ketika kelas 5.
Cerita ini agak sedikit lupa-lupa ingat detailnya. Maka, sebelum lupa lebih jauh, saya ceritain aja di sini.
Saat itu, saya dan teman-teman buat sejenis tabungan ala anak SD. Tabungan, bukan arisan. Jadi temen-temen nabung 100 perak, 200 perak (pada masa itu jajan masih segitu) ke saya. Ya, saya yang pegang uang tabungan. Saya rajin catetin di buku berapa tabungan mereka. Yang ikut ada sekitar belasan orang. Semuanya temen sekelas. Sistemnya adalah kapan mau nabung, boleh. Kapan mau ambil, boleh ambil. Bebas. Yang penting kendali di tangan saya.
Setiap hari, saya membawa uang tabungan itu ke sekolah. Dan selalu saya letakkan di dalam kotak pensil beresleting.
Semua baik-baik saja hingga beberapa bulan kemudian (2 atau 3 bulan kalau ga salah). Saya mau jajan di sekitar sekolah. Biasanya, uangnya saya bawa kemana saya pergi (kalau ga salah sih). Tapi ketika itu, saya tinggal di tas.
Ketika saya kembali ke kelas dari membeli jajan, saya terkejut karena saat mengecek tas, kotak pensilnya HILANG!
Saya panik. Nangis. Peristiwa ini dilaporkan ke beberapa Guru. Ada beberapa orang yang tertuduh, berdasarkan beberapa saksi mata. Sudah diproses oleh para guru. Namun, hasilnya nihil. Tak ada yang mengaku dan terbukti mencuri.
Semua pandangan tertuju pada saya saat itu. Mereka tidak menuduh saya. Tapi saya merasa kecewa dengan diri saya sendiri. Kenapa uangnya ditinggal, kenapa tidak diletak di rumah saja, kenapa hari itu saya harus jajan, dan banyak kenapa kenapa lainnya.
Teman-teman tidak meminta uangnya dikembalikan. Mereka baik sekali. Saya juga tidak punya cukup uang untuk mengembalikan semua uang mereka.
Peristiwa ini sungguh memilukan bagi saya. Saya simpan rapat dari keluarga. Ketika itu, ortu saya sedang naik haji. Jadi, saya di rumah dengan Kakak.
Entah bersumber dari mana, Kakak kedua saya tahu peristiwa itu dan segera bertanya pada saya.
"Betul kemarin uang tabungan kelas hilang, Dek Ida?"
(sambil nangis) "Iya, Kak"
"Ada catatannya?"
"Ada"
"Ayo kita ganti uang teman-teman yang hilang"
"Tapi, uang Ida ga cukup"
"Berapa uang tabungan Dek Ida? Nanti Kakak yang tambahin"
Kakak saya ga marah, Mentemen.
Dia justru bantu saya keluar dari masalah paling besar dalam hidup saya ketika itu.
Saya ambil buku catatan tabungan, saya hitung satu per satu total tabungan per orang. Ada yang 20ribuan, 10ribuan, atau cuma recehan. Saya ambil juga kaleng tabungan. Ada ribuan dan recehan.
Kakak ambil dompetnya, kertas, pulpen, dan selotip.
Uang setiap orang ditaroh di kertas, digulung, dan diselotip. Tidak lupa juga dibuat namanya.
Untuk nominal besar seperti 20, 10, atau 5 ribuan, pakai uang kakak. Kalau seribuan dan recehan, pakai uang dari kaleng tabungan saya. Kalau ditotal kalau ga salah ada 100 ribuan. Nominal yang besar untuk anak SD tahun 2000-an. Jajan per hari aja cuma gopek.
Besoknya, saya kasih uang itu ke pemiliknya. Mereka sangat senang.
Saya kelas 5 SD dan berusia 9 tahun ketika itu. Saya tahu bahwa kepercayaan teman-teman pada saya pasti akan berkurang. Tapi, bisa mengembalikan uang mereka adalah sebuah kelegaan yang sangat besar. Meskipun, sebagian besarnya bukan dengan uang saya sendiri.
Kakak kedua saya mengajarkan saya secara langsung apa arti tanggung jawab dan bagaimana menjaga sebuah amanah, apalagi berkaitan dengan uang.
Selepas SD bahkan hingga SMP, saya tak pernah pegang jabatan bendahara kelas. Bukan karena trauma, memang karena ga dipilih aja. Haha.
Tapi siapa sangka, waktu SMA kelas 1 sampai kelas 2 semester 1 (1,5 tahun), saya jadi bendahara kelas.
Bendahara yang paling cerewet pada masanya. Bendahara yang paling rajin ngutip uang kas dan uang buku setiap pekan. Bendahara yang setelah ga jadi bendahara, masih juga diledek "Da, kami mau bayar uang kas" sama teman yang sudah beda kelas, sampai kelas 3. Bendahara yang ketika di kelas 1 dibilang "parbada" (sangat cerewet) oleh wali kelas. Dan ketika memutuskan mengakhiri masa jabatan, wali kelas justru memohon dengan mata berkaca agar saya tetap bertahan jadi bendahara.
Tapi keputusan saya sudah bulat. Saya lelah jadi bendahara pada masa itu. Saya mau jadi anggota biasa saja di kelas.
Hingga akhirnya, terulang lagi..
Ketika semester 4 kuliah, saya diamanahkan jadi bendahara umum di sebuah organisasi di kampus. Tahun depannya, jadi bendum lagi di organisasi lainnya.
Masyaallah.
Hei! Siapa yang sangka, berawal dari pengalaman tragis semasa sekolah dasar, akhirnya bisa membuat saya belajar dan mampu menaklukkan dunia perbedaharaan keuangan tingkat kelas dan organisasi fakultas.
Tak bisa juga saya pungkiri, bahwa darah Bapak mengalir deras dalam tubuh saya. Dulu, Bapak adalah bendahara qurban hari raya idul adha sebuah mesjid kampung selama berbelas tahun. Dan saya terbiasa melihat Bapak menghitung uang, membuat pembukuan, atau sekadar menulis catatan di kertas-kertas.
Ah, kenapa jadi rindu Bapak. Dan rindu masa kecil saya yang mostly diisi dengan tangisan karena saya cengeng. Hahaha.
Kita tidak tahu besok kita jadi apa. Apakah yang kita lakukan hari ini mengantarkan kita menjadi A, atau B, atau C, kita tidak tahu. Namun, tetaplah berusaha, tetaplah belajar dari mana saja hari ini. Termasuk dari pengalaman pahit sekalipun. Allah sedang membentuk diri kita menjadi kita yang lebih kuat untuk mampu menghadapi masa depan!
—
sebuah refleksi untuk diri sendiri
Komentar
Posting Komentar
jangan sungkan untuk berkomentar ya :)