Ini berat. Saya butuh berpikir beberapa kali untuk memutuskan apakah harus menulis topik ini atau tidak. Tapi, akhirnya saya tuliskan. Berharap selepas ini, ada separuh beban yang berkurang.
30 Juni 2017, saya memutuskan untuk mengundurkan diri secara baik-baik dari sebuah komunitas hebat. Hebat karena orang-orang di dalamnya visioner, solid, dan rela berlelah-lelah di jalan kebaikan. Saya berpengang bahwa ketika saya masuk dengan cara yang baik, maka saya harus keluar dengan cara yang baik pula. Bukan secara perlahan tidak aktif, yang kemungkinan memunculkan prasangka negatif. Pada intinya, saya keluar untuk fokus pada skripsi, dan takut menzhalimi yang lain.
Saya ingin rehat sejenak dari segala amanah organisasi/komunitas, setidaknya hingga sidang skripsi selesai. Itu kata batin saya, waktu itu.
19 Juli 2017, biidznillah, saya menemukan pengumuman pendaftaran FIM 19. Saya lalu iseng mendaftarkan diri. Sebab usut punya usut, katanya ada yang sudah daftar sampai 3 kali belum tentu lolos. Saya ingin jadikan ini percobaan pertama. Kalau ga lolos, ya saya fokus skripsian. Kalau lolos, ya nanti kita pikir lagi. Peluang lolosnya agak kecil soalnya. Sebab pendaftar FIM tahun sebelumnya sampai 9000-an orang lebih. Tapi coba-coba bukan berarti tidak serius. Coba-coba juga harus diseriuskan.
Ternyata, eh ternyata. Saya lolos sampai seleksi tahap akhir FIM 19. Senang? Senang sih, tapi lebih tepatnya bingung. Kenapa saya bisa lolos, nanti bisa berangkat tidak, setelah pelatihan bagaimana, skripsi saya apa kabar, dan banyak pertanyaan lain.
Pada akhirnya, saya tak mau melewatkan kesempatan sebagai bagian dari keluarga kunang-kunang. Dan sungguh saya tidak pernah menyesal pernah ikut FIM 19.
Meski kemudian, saya diamanahkan jadi kepala divisi media dan komunikasi di FIM Sumut, divisi yang sama dengan yang dahulu saya putuskan untuk keluar dari dalamnya.
Padahal saya sudah lelah, ingin rehat sejenak saja dari hingar bingar dunia organisasi. Tapi justru Allah seperti menjebloskan saya lagi ke bidang yang sama, dengan orang-orang hebat yang berbeda.
Saya tidak tahu apa hikmah sebenarnya yang Allah ingin berikan di balik ini semua. Saya hanya bisa menebak-nebak hikmah yang logika saya masih bisa jangkau saat ini.
Tapi sebagai seorang hamba, tugas saya sebenarnya adalah senantiasa berprasangka baik pada-Nya. Allah tidak akan beri ujian, di luar batas kemampuan kita, bukan?
Komentar
Posting Komentar
jangan sungkan untuk berkomentar ya :)