Catatan : Tulisan ini ditulis hampir dua tahun yang lalu. Baru naik cetak hari ini, sebab rasa khawatir kalau suatu hari lupa momentum penting ini pernah kita lewati. Selamat bernostalgia!
--
Tak pernah ada yang mengira sebelumnya berapa jumlah kita yang akhirnya tersaring untuk dauroh 10 hari itu. Tapi Allah Yang Maha Memiliki punya angka cantik untuk kita. Ada 10 orang yang dengan izin Allah mengikuti kegiatan pelatihan tingkat tiga selama 10 hari itu. Sepuluh hari bermukim tanpa boleh pulang ke rumah, sepuluh hari kita mulai mengenal kembali saudara-saudara kita, sepuluh hari kita mulai belajar bagaimana dakwah ini terkonsep, sepuluh hari kiranya jadi masa puncak setelah berbulan-bulan sebelumnya kita juga ditempa dalam tasqif mingguan yang tak pandang bulu dalam pelaksanaannya.
|
dulu ini memalukan, sekarang jadi lucu wkwk |
* * *
Sungguh, saya pribadi pada
awalnya tidak yakin bisa mengikuti dauroh ini. Bahkan hingga H-1 dauroh, saya
masih merasa setengah hati untuk ikut, dan berharap ada alasan yang kuat untuk
mengurungkan niat. Namun Allah tak memberikan kendala apapun. Saya tak punya
alasan untuk tidak ikut dauroh. Akhirnya, malam hari sebelum besoknya
berangkat, saya berkemas. Pakaian dan buku sudah dipersiapkan untuk ‘amunisi’
selama 10 hari ke depan. Tak lupa juga laptop yang tak kalah penting.
Bismillah.
Besok paginya, sekitar jam 07.30,
seorang sahabat, Atika, hendak datang ke rumah saya. Tapi karena
dianya nyasar, akhirnya kami ketemu di depan jalan setia budi. Singkat cerita, kami
naik angkot 135 kala itu. Hari itu adalah hari Ahad. Tak banyak angkot yang
lewat dan tak banyak penumpang di angkot. Setelah cukup jauh angkot berjalan,
kami merasa ada sesuatu yang janggal. Kenapa ini angkot belok ke kiri pada
sebuah persimpangan? Sedangkan arah tempat dauroh itu ke kanan? Karena ini juga
the first time aku dan Tika naik angkot ke tempat dauroh, kami jadi panik.
Antara salah angkot atau angkotnya yang salah arah. Kami lalu nanya abang
angkotnya. Dan.... ternyata angkotnya ga ke arah tempat dauroh. Selamat!
Selamat! Selamat! Kami akhirnya memutuskan untuk turun dari angkot.
Tak lama setelah angkot itu
pergi, ada seorang bapak tukang becak yang menghampiri. Akhirnya kami
memutuskan untuk naik becak karena saat itu tak ada angkot yang lewat. Setelah bernego-nego,
kami pun naik becak ke tempat dauroh. Kami sudah optimis akan sampai di tempat
dauroh sebelum jam 08.00. Tapi mungkin Allah sedang menguji kesungguhan kami
(ceilah, yang bener aja). Kami tak langsung sampai di tempat dauroh karena
sebenarnya kami juga ga tahu dimana itu tempatnya. Kami berdua cuma tahu
namanya saja, yaitu Pusdiklat Helvetia Medan. Abang becaknya juga ga tahu
persis dimana. Ini menyebabkan, kami bertiga (aku, Tika, dan Abang becak) jadi
nyasar entah ke Pusdiklat mana. Allah...... Baru mulai aja udah gini. Setelah
bertanya-tanya dengan beberapa orang di sekitar situ, akhirnya Abang becak
mengerti dimana letak tempat daurohnya. Fyuh, akhirnya. Tapi, Abang becak jadi
minta ditambahi ongkosnya karena katanya terlalu jauh. Oke, baiklah kami
tambahin, Bang.
Singkat cerita, finally (yeah,
this is the last) kita sampai di tempat dauroh sekitar jam 09.00 (koreksi kalo
ane salah, Tik). Dan saat itu tempat daurohnya sepi dan pintu depan gedungnya
ditutup. Eh, rupanya pintunya ada di samping. Sampai di area dauroh, kami
ketemu sama Ani (salah satu panitia) dan diarahkan ke kamar. Di kamar, ada Heni.
Huaaaa! Heni... Jadilah hanya kami bertiga yang menghuni kamar itu. Tak berapa
lama kemudian, datang satu orang lagi : Jeni. Huaaaa, Jeni! Sekarang penghuni
kamar ada 4 orang, dan selama dauroh berlangsung hanya 4 orang itulah yang
menghuni kamar itu secara tetap. Ya, hanya ada 4 orang peserta akhwat. Di sisi
lain, ada 6 orang peserta ikhwan.
Tak pernah ada yang mengira
sebelumnya berapa jumlah kita yang akhirnya tersaring untuk dauroh 10 hari itu.
Tapi Allah Yang Maha Memiliki punya angka cantik untuk kita. Ada 10 orang yang
dengan izin Allah mengikuti kegiatan pelatihan tingkat tiga selama 10 hari itu.
Sepuluh hari bermukim tanpa boleh pulang ke rumah, sepuluh hari kita mulai
mengenal kembali saudara-saudara kita, sepuluh hari kita mulai belajar
bagaimana dakwah ini terkonsep, sepuluh hari kiranya jadi masa puncak setelah
berbulan-bulan sebelumnya kita juga ditempa dalam tasqif mingguan yang tak
pandang bulu dalam pelaksanaannya.
Seperti yang saya tuliskan di
atas tadi. Di dauroh ini, kami mulai mengenal lagi satu sama lain. Memang benar
apa yang pernah dikatakan oleh salah seorang kakak. “Kita baru mengenal teman
kita setelah kita bermalam dengannya.” Kami yang sebelumnya hanya saling
mengenal luarnya saja, kini bisa mengenal mendalam. Lucunya, Heni berkata pada
suatu ketika, “Aku kira Ida orangnya pendiam lho! Soalnya kalau di tasqif
mingguan Ida lebih banyak diam.” Tentu saja hal ini membuat Tika ingin muntah.
Saya sih mesem-mesem saja. Pasalnnya, bukan cuma Heni yang pernah berkata
seperti itu.
Di dauroh sendiri, selain
mendengarkan materi di forum, kami juga melakukan worskhop berupa analisis. Selain di forum, tentu ibadah di luar
forum juga harus tetap jalan, bahkan lebih banyak dari biasanya.
Selama 7 hari kami di-service
dengan service yang sangat baik oleh para panitia dan instruktur, terutama
dalam hal makan dan minum. Makanan tak pernah kurang. Empat jempol buat Bu Ani
(bukan istri pak SBY), yang kala itu jadi juru masak dibantu kakak-abang yang
lain. Terima kasih ya, untuk jus jeruk di malam hari yang sebenarnya kami sudah
ngantuk sekali tapi tetap dipaksa untuk dihabiskan. Belum lagi pisang coklat
lezat buatan Bang Ipul. Martabak manisnya juga tidak terkata enaknya. Dan yang
tidak mungkin kami lupakan, sup daging unta yang baru kali itu kami (atau kita
semua) merasakannya. Alhamdulillah, Allah begitu murah hati memberi kita banyak
rezeki dan kemudahan.
Empat jempol juga untuk panitia
dan instruktur yang lain. Nuansa kekelurgaan itu begitu terasa. Selama 10 hari
itu saya merasa berada dalam keluarga kedua. Begitu hangat, nyaman, dan solid.
Afwan, jika kehangatan, kenyamanan, dan kesolidan itu tak bisa kami ulangi di
dauroh setahun setelahnya.
Terima kasih karena telah
merancang acara begitu baik, hingga kami diberi waktu tidur siang. Kami begitu
dimanjakan, meskipun beberapa dari kami malah melakukan aktivitas lain seperti
ber-karaoke-ria di forum ketika jam istirahat itu. Yang jelas, mereka itu BUKAN
AKHWAT!
Terima kasih untuk game-game
sederhana namun bermakna yang dibuat oleh instruktur untuk mengisi waktu
senggang di forum. Kami, para akhwat, jelas tak bisa melupakan wajah-wajah para
ikhwan-yang-hobi-karaoke ketika mereka mendapat kekalahan dalam game Berpacu Dalam
Melodi. Bagaimana bisa kami lebih tahu soal lagu dan musik padahal yang sering
bersenandung di forum ketika jam istirahat itu kalian? Allah memang adil!
Hahaha. Ditambah lagi, di game Tebak Surah Qur’an, para akhwat yang hanya 4
orang ini ternyata juga mendominasi. Tapi kami, para akhwat, mengaku kalah
dalam pembuatan yel-yel kelompok. Sungguh, kami tak suka buat yel-yel. Dan
selamat, kalian (para ikhwan) lah pemenangnya!
(Bersambung)
Komentar
Posting Komentar
jangan sungkan untuk berkomentar ya :)