Sebenarnya saya sedang persiapkan tulisan berseri tentang perjalanan awal hingga bisa lolos FIM 19.
Namun hari ini, saya lebih tertarik untuk menyoroti hikmah selama proses itu.
Sejujurnya, dari sejak daftar, saya ga begitu berharap bisa lolos. Saya bahkan mengira seleksinya hanya seleksi berkas. Dan baru tersadar ketika baca email pengumuman lolos tahap 1.
Tapi, tidak begitu berharap bisa lolos bukan berarti pesimis dan berimbas pada setengah hati menyiapkan berkas. Tidak sama sekali. Saya tetap ikhtiar semampu saya. Dan pasrah pada Allah bagaimanapun hasilnya.
Uniknya, saya sering sekali mempersiapkan diri untuk worst case atau momen terburuk yang bisa terjadi. Sebab menurut saya, orang-orang yang bisa melewati sebuah momen keberhasilan dengan mulus, belum tentu bisa melewati momen kegagalan semulus itu.
Mempersiapkan diri menghadapi kegagalan tidak kalah penting dengan mempersiapkan diri untuk keberhasilan.
Maka, saya sudah siapkan jawaban jika saya tidak lolos FIM.
"Saya sungguh baik-baik saja. Setelah ini, saya akan menjalani hari-hari seperti biasa. Saya akan tetap membaca, menulis, dan berbagi kebaikan yang saya punya. Tidak ada yang perlu disesali, karena saya yakin, tidak ada perjuangan yang sia-sia. Insya Allah saya tetap akan berusaha melaksanakan proyek yang telah saya tulis, bersama atau tanpa FIM. Meskipun jika tanpa FIM, perjuangan ini sepertinya akan lebih susah, tapi saya tetap akan berusaha semaksimal yang saya bisa. Terima kasih, FIM. Untuk hikmah-hikmah yang terselip dalam lembaran proses menujumu."
Di otak saya bahkan telah berputar banyak cerita dan hikmah yang saya dapat, terutama ketika proses wawancara.
Apa yang saya dapat dalam wawancara ini?
Sebuah motivasi hidup yang diberikan oleh saya. Untuk diri saya sendiri.
Saya ga bisa ceritain wawancaranya secara detail. Tapi yang jelas, dalam 60 menit itu, saya merasakan sebuah energi positif mengalir dari tubuh saya, keluar melalui kata-kata yang saya ucapkan, lalu kembali lagi ke dalam diri saya sendiri menjadi sebuah energi baru.
Kata-kata itu terlontar begitu saya, bahkan tanpa saya sadari.
"Saya bersyukur punya orang tua yang tidak membatasi pergerakan saya. Saya tidak pernah dituntut untuk harus juara kelas, untuk tamat kuliah 4 tahun, untuk menikah di usia sekian. Orang tua saya juga tidak pernah melarang saya mengikuti kegiatan kegiatan yang saya mau ikut .."
".. Bapak saya pernah bilang, 'Mendidik anak itu kayak main layangan. Kadang ditarik, kadang diulur. Jadi anak ga bisa terus-terusan dikekang. Ada masanya harus diulur, yang penting tidak keluar batas."
Saat itu, saya bahkan tidak lagi peduli, apakah itu momen wawancara yang penuh penilaian atau cuma ngobrol biasa.
Dalam wawancara, kita tidak bisa berpikir terlalu lama. Jawaban yang keluar adalah hasil pemikiran kita selama ini yang sebelumnya telah tersimpan dalam database otak kita.
Dan hampir semua jawaban yang saya lontarkan saat itu, merupakan hasil dari buku-buku yang saya baca dan tulisan-tulisan di blog ini.
Saat itu saya sadar. Betapa membaca dan menulis benar sangat bermanfaat dalam banyak hal.
Bahkan saat menulis tulisan ini, saya yakin, kelak ini akan berguna. Bergunanya mungkin bukan hari ini, tapi esok suatu hari nanti. Bergunanya mungkin bukan untuk saya sendiri, tapi juga untuk orang lain.
Semangat ya. :)
You're awesome.
BalasHapusFighting~!!
Thank you :)
Hapus