Tulisan kali ini dimulai dengan Bismillah, dan sebuah quote :
Memories of childhood were the dreams that stayed with you after you woke. (Julian Barnes)
Sabtu lalu saya pulang kampung ke Simalungun (kabupaten sebelah kota Pematangsiantar), rumah tempat saya dilahirkan. Banyak kenangan masa kanak-kanak yang masih melekat di rumah ini. Rasanya, seperti baru kemarin saja saya main lompat karet di halaman rumah. Menikmati sejuknya udara jam 10 pagi pada hari Sabtu saat sekolah pulang cepat. Masih terngiang juga, ruang tamu yang saya jadikan tempat praktik main dokter-dokteran. Time flies so fast, and here we go~
|
malam takbiran dari depan rumah |
Entah angin apa yang mendorong saya untuk membuka lemari di ruang keluarga. Lemari ini tempat saya biasa menyimpan barang-barang waktu masih sekolah. Lemarinya tidak begitu besar. Ada 2 lemari, masing-masing lemari memiliki 2 rak dan 1 laci. Dan semuanya itu full oleh barang-barang yang saya kumpulin sejak TK sampe akhir SMA. Tentunya lebih banyak barang SMA, karena barang TK-SMP sudah terfilter sebagian. Dan ketika saya membuka, jeng jeeeng! Sudah diduga, sawang hinggap di setiap sudutnya. Barang-barang di dalamnya berdebu dan cukup berantakan. Lalu, sebuah ide terlintas. Bagaimana kalau saya bereskan saja ini semua.
Maka, senja hari itu jadi saksi peristiwa bongkar-habis-kenangan seorang gadis usia 21. Saya keluarin itu barang-barang. Anyway, saya termasuk awet jaga barang. Buktinya barang dari zaman TK masih ada dan masih saya pakai sekarang kayak meja belajar kecil yang usianya sekitar 17 tahun. Ga percaya? Nih buktinya!
|
abis disampul ulang |
Terhitung 1 buah goni dan sekotak menumpuk kertas yang harus dibuang, atau lebih tepatnya dijual. Dan banyak barang-barang yang harus dibuang. Yang tersisa hanya buku-buku pelajaran, buku tulis yang masih banyak kosongnya, alat tulis, majalah, dan mainan-mainan yang masih bisa diwariskan seperti dokter-dokteran, bp-bpan, puzzle, ular tangga, monopoli, biji congkak, kuaci, koleksi kertas binder, buku diary, surat-surat ucapan, dan plakat penghargaan.
Lalu, banyak memori yang teringat kembali. Saya seperti masuk ke film Inside Out. Tersesat di labirin-labirin memori jangka panjang. Ternyata, setelah saya teliti, banyak memori yang harus saya syukuri. Meski agak kesepian karena saya seperti anak tunggal di rumah, tapi masa kecil saya alhamdulillah masih terselamatkan. Kakak kedua berhasil membuat saya jatuh cinta dengan buku hingga setiap dia mau pulang kampung dan bertanya, "Dek ida mau dibelikan apa?". Saya selalu jawab, "Buku. Buku. Buku." Maka, ketika hari ini saya mulai malas membaca, saya jadi teringat masa-masa itu.
Koleksi buku saya nggak banyak untuk bisa dikatakan seorang pecinta buku. Tapi saya punya majalah anak-anak yang masih awet dengan jilidan lux.
|
kesayangan |
Teringat juga waktu SD saya minta beli play station ke Bapak. Bapak ga mau beliin karena takut saya males belajar. Dan sekarang saya bersyukur karena tidak pernah memilikinya.
Surat ucapan mulai saya dapat ketika SMP. Seorang junior memberikan saya surat yang berisi tentang kekaguman dia akan saya. Ningrum, terima kasih ya. :") Surat lainnya datang dari temen SMP yang juga satu kelas waktu SMA, Asri. Lalu ada juga dari Egritha. Mereka berdua udah sering muncul di blog ini. Thank you so much, guys. Miss you so bad!
Kenangan tentang cinta pertama yang tak terbalaskan juga ada. Hahaha. Sebuah kotak pensil kaleng hadiah dari seseorang ketika kami berdua masih TK ternyata masih tersimpan. Lekas saya buang. Disimpan juga ga ada guna. *kalem*
Sekarang, barang-barang masa lalu itu sebagian besar sudah mendarat ke tempat sampah. Waktunya kembali ke masa sekarang dan bersiap menghadapi masa depan.
Let's go to the future! (Meet the Robbinsons)
Salam Semangat, Readers :)
Ida Mayasari
Komentar
Posting Komentar
jangan sungkan untuk berkomentar ya :)