IP pertama telah keluar. Tidak terlalu buruk saya kira. Kalau saya melihat ke atas saja, mungkin saya akan mengeluh berkelanjutan karena masih banyak yang berada di atas saya. Ada yang 3,95. Malah tahun lalu ada yang 3,97 (perlu saya tulis alamat blognya disini? Haha). Tapi untunglah, saya tidak lupa melihat ke bawah. Syukur tak terukur saya panjatkan. Alhamdulillah, nilai saya berputar pada A, B+, dan B saja. Terima kasih semuanya. Saya sudah berusaha semaksimal saya, dan inilah hasilnya.
Beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah artikel di internet tentang Proses dan Hasil. Yang saya tangkap dari artikel itu, kita harusnya tidak terfokus pada hasil. Karena jika terfokus pada hasil saja, kita bisa menghalalkan segala cara untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Hendaknya kita tetap menjunjung tinggi proses. Hasil itu bukan masalah jika kita menjalani proses dengan baik. Dalam proses, kita belajar bagaimana menjadi sabar, berpegang teguh pada kejujuran, dan sifat baik lainnya.
Contohnya belajar. Bagi pelajar mungkin memang hasil itu paling penting. Dan kadang orang tua juga hanya melihat pada hasil saja. Jadinya, kadang demi mendapatkan nilai yang bagus, demi membanggakan orang tua, tak sedikit pelajar mencontek dalam ujian. Lihat. Proses yang dilewati untuk mendapat hasil telah tercoret noktah hitam. Menurut saya, kalau proses itu, kita yang menentukan bagaimana jalannya. Kalau hasil, Allah yang menentukan ceritanya. Jangan kira tidak ada kuasa-Nya dalam deretan angka dan huruf itu.
Ini menjadi pengingat bagi saya juga. Pengingat agar saya tidak menghalalkan segala cara demi mencapai nilai yang tidak seberapa bagi Allah itu. Walaupun begitu, kita tidak luput juga dari kesalahan.
Ketika SMA dulu (apa sudah lama sekali ya? -_-) saya pernah percaya kata-kata, "Jika saya tidak tahu, yang lain juga tidak". Tetapi prinsip itu terpatahkan setelah saya menginjak dunia perkuliahan. Di sini bukan Indeks Prestasi saja yang harus dikejar. Di sini bukan tempat lomba menjilat pengajar demi nilai (meski mungkin ada juga). Karena persaingan tidak sekeras SMA dulu. Dimana juara utama hanya ada 1, tidak ada juara 1 mewakili dua orang. Dunia perkuliahan ini berbeda. Seratus orang seangkatan bisa mendapatkan IP yang sama persis, dan tidak ada yang bisa menyalahkannya meski sedikit janggal. Di sini saya belajar peduli pada teman, tidak egois, ikhlas berbagi yang saya tau pada teman-teman yang belum tau, tidak malu berkata 'saya tidak tahu' dan tak sungkan bertanya pada mereka yang lebih tau. Di sini saya mendapatkan "dunia" saya. Ya, saya suka "dunia" yang satu ini.
Saya tidak ingin terlalu berambisi ingin menjadi yang pertama atau nomor satu. Toh di atas langit masih ada langit, kan? Meskipun begitu, saya masih menabur harapan untuk kesempatan-kesempatan baik yang bisa saya dapatkan. Berdo'a dan berusaha saja. Allah dulu, Allah lagi, Allah teruuuus.. :). Oh ya, masih ingat motto di belakang bet nama saya saat ospek? MAN JADDA WAJADA!! Siapa yang bersungguh-sungguh, pasti akan berhasil. Saya sangat suka kata-kata ini. Tapi saya juga suka dengan quote yang satu ini.
"Kadang kala kau tidak harus memikirkan keberhasilan dan kegagalan, jangan biarkan hal itu mengganggumu."
Salam semangat, Readers :)
Ida Mayasari
luar biasa memotivasi bagi saya Da!
BalasHapusThanks ya postingannya.
Memang benar Da, hasil akhir itu (termasuk IP dianggap penting karna masih jadi parameter satu-satunya untuk kemampuan seseorang. Tapi, setelah melewati "tahap administrasi/berkas", nilai itu langsung dijatuhkan ke tong sampah. IP berada di urutan ke 17 dari 20 kententuan untuk menilai kualitas mahasiswa *search google nih dan booming bgt*
see you!
seneng bisa memotivasi grith :)
Hapusoh yang ke-17 ya. baru tau nih. hehe.
thanks juga uda rajin comment grith... :D
thx kak ida ^_^
BalasHapussama-sama, afza ^_^
Hapus