Kenapa harus takut untuk kehilangan?
Bukankah semua yang kita kira milik kita, sebenarnya hanya titipan untuk kita? Orang tua, teman, barang-barang di rumah kita, bahkan ruh yang ada dalam tubuh kita, bukankah semuanya hanya titipan?
Kadang kala, bahkan sering, atau selalu, kita menganggap apa yang telah lama dititipkan pada diri kita, sudah menjadi milik kita sepenuhnya. Kita lupa, suatu saat, Sang Pemilik Segala akan mengambil barang tersebut.
Dulu, saya pernah merasakan kehilangan dan itu cukup membuat saya capek mencarinya. Ketika sekolah dasar, saya sering kehilangan buku catatan. Sepele kedengarannya. Tapi bagi saya, yang saat itu masih begitu lugu, hal tersebut cukup menguras pikiran dan tenaga saya. Saya harus mengulang kembali isi buku tersebut pada buku yang baru dengan meminjam catatan teman saya.
Lalu, ketika saya kelas 5 SD, seseorang yang sudah saya anggap ibu saya sendiri, yang menggendong saya ketika beliau baru pulang dari tanah suci, yang mengurus saya ketika orang tua saya beberapa tahun kemudian pergi juga ke sana, yang menghisap darah saya ketika saya terluka karena bermain masak-masakan dengan pisau, harus pergi menghadap Sang Khalik dengan senyuman terukir manis di bibirnya. Beliau salah satu pahlawan saya. Penghibur saya ketika sedih. Ibu Almh. Hj. Kamsiah Saragih. Tepat 12 Rabi'ul Awal beliau dimakamkan. Perpisahan yang memberatkan
hati saya saat itu. Saya masih terlalu kecil untuk menerima kenyataan orang yang
saya cintai pergi untuk selamanya.
Sepuluh hari sebelum berpulangnya beliau, beliau tengah menjalankan ibadah umroh di tanah suci. Lalu sehari sebelum kembali ke tanah air, beliau terjatuh di kamar mandi hotel, dan meninggal setelah tiba di tanah air. Saya tak bisa menahan bendungan air mata yang membendung di kelopak mata saya, tangisan saya pecah hingga beliau masuk ke liang lahat. Hal lain yang membuat saya semakin terisak adalah ketika kami menemukan selembar foto di dalam tasnya. Foto beliau bersama seorang anak perempuan berumur kira-kira 9 tahun memakai baju pink duduk dalam pelukannya. Anak perempuan itu adalah saya. Foto terakhir bersama beliau. Saya tak tahu dimana keberadaan foto itu sekarang. Setelah sekian lama, akhirnya saya kembali mengingat beliau dengan deraian air mata rindu. Ya Rabbi, pertemukan kami kembali di tempat yang paling indah.
Semakin lama, saya semakin terbiasa dengan kehilangan. Baik kehilangan benda atau orang yang saya cintai. Saya bahkan tak pernah lihat wajah kakek, ayah dari ibu saya. Dan sekarang saya tak lagi punya nenek dan kakek. Mereka juga telah pulang.
Klimaks dari sesi kehilangan barang saya terjadi tahun lalu. Saya didera kehilangan bertubi-tubi. Ketika teman saya menyerahkan modemnya pada saya, agar saya menyettingnya di rumah karena ada sedikit masalah, modem tersebut lenyap di tangan saya. Esoknya, handphone Blackberry saya, yang baru berumur beberapa bulan, hilang. Sebelumnya, handphone saya yang lain, juga hilang. Dan esoknya, ketika saya ke ATM untuk mengambil uang, ATM saya tertelan. Hari yang berat. Saya tersedu di pojok musolla bimbingan belajar. Hanya sahabat saya, Lydia, yang berada di sana saat itu. Mengelus punggung saya dan tak henti berkata 'sabar ya da...'. Terlalu berat untuk saya saat itu. Dan pada akhirnya, saya sadar ini kesalahan saya. Saya tak serahkan semua yang saya punya pada Allah. Saya terlalu tergesa-gesa mengambil keputusan ingin membeli handphone baru, terlalu tergesa-gesa pergi ke ATM untuk mengganti modem teman saya yang hilang. Saya tak libatkan Allah dalam masalah saya. Seolah saya bisa atasi semua sendiri.
Beberapa hari yang lalu, saya juga tengah kehilangan. Kehilangan slip pembayaran SPP di universitas saya sekarang. Cukup menyita konsentrasi saya. Saya coba tawakal pada Allah, menangis hanya di atas sajadah, alhamdulillah fotokopi slip-nya bisa diminta ke bank tempat saya membayar.
"Dimana ada kesulitan, di situ ada kemudahan."
Dan sekarang, apa yang kita takutkan akan perpisahan? Takut terlupakan?
Dunia ini terus berputar. Waktu akan terus berjalan. Masa depan adalah sebuah misteri yang tak bisa diramalkan. Saya tak tahu bakal jadi apa saya di masa depan dan akan hidup bersama pria yang mana saya kelak. Dan saya tak bisa tentukan karena langkah saya telah ditentukan. Saya, kita, hanya khalifah yang mengabdi di bumi. Tak bisa tentukan arah sendiri.
Kita tak harus khawatir dengan orang yang silih berganti datang dan pergi ke kehidupan kita. Percaya saja, mereka datang dan pergi bukan karena kebetulan. Kita tak perlu cemas orang yang kita cintai akan melupakan kita. Toh akan datang orang-orang baru yang mulai memasukkan kita ke dalam memori mereka. Dream big. Bermimpi besarlah. Karena orang-orang seperti kita hanya punya mimpi untuk tetap bertahan hidup.
Saya buat tulisan ini karena saya ingin menulisnya. Semoga bermanfaat. Semoga kita siap dan ikhlas menghadapi segala kehilangan dan terlupakan. Ketika hal itu terjadi, berpikir positif saja. Setidaknya kita tak kehilangan dan tak terlupakan oleh Dia Yang Maha Baik. :)
selamat datang bulan penuh cinta, bulan penuh berkah.
selamat menunaikan ibadah puasa :)
♥ Ida Mayasari ♥
ida selalu membuat nana berdecak kagum, nana juga udh kehilangan handphone 2 kali, , hmm kehilangan handphone memang gak mengenakan sekali.
BalasHapusselamat puasa juga ida :)
@ nana : Alhamdulillah kalo nana suka :) Haha, iya na? wah sama dong kita kalo gitu. Pada akhirnya, semua yang pergi, harus diikhlasin kan? :D
BalasHapusYA IKLAS KAN SAJA SEMUA KEHINGAN YG KITA HADAPI KERNA APA YANG BERLAKU SMUA ADA HIKMA NYA, HARI NI KITA KEHILANGAN BENDA YANG BERNILAI TETAPI ESOK AKAN DATANG BERLIPAT KALI GANDA BENDA ITU AKAN KEMBALI SEBAB IA BUKAN MILIK KITA YANG ABADI.
BalasHapussetuju, mas. belajar ikhlas. :D
Hapus