Langsung ke konten utama

Unggulan

Punya Anak

Well, meskipun aku (merasa) sudah siap untuk punya anak bahkan sejak sebelum menikah, agaknya gamang juga ketika sekarang sedang mengandung janin 9 minggu. Sampai beberapa hari yang lalu. Aku nangis sesegukan karena teringat sama salah satu jama'ah masjid yang sekarang hidup sendiri pasca suaminya meninggal dunia dan mereka tidak memiliki anak. Walau tetap Allah jua lah yang menakdirkan kita diamanahkan anak atau tidak, tapi perasaanku melihat para janda yang tinggal seorang diri ini jadi kalut. Pasti sepi. Sendiri. Butuh teman. Aku yang juga dulu pernah punya tetangga dekat yang sama persis kondisinya dengan si ibu. Jadi, tahu persis bagaimana keseharian mereka. Sejak saat itu, aku sadar bahwa punya anak itu karunia yang sangat besar dari Allah. Pantaslah memang anak ini disebut sebagai qurrata a'yun (penyejuk mata) bagi orang tuanya. Investasi akhirat. Setidaknya, ada yang bisa dihubungi kalau kita kesepian di masa tua nanti. Makin degdegan menuju HPL 27 Oktober

Pelajaran dari Film 3 Idiots




Sepertinya kekaguman dan pemikiran saya akan film yang satu ini sudah tersimpul semua dalam tulisan di bawah ini. 


Sungguh film yang luar biasa. Mungkin kata inilah yang mewakili penilaian penulis setelah menonton film yang berjudul "3 Idiots". Lucu dan berisi. Karena terharunya, hingga tak sadar penulis meneteskan air mata.

Dalam "3 Idiots", ada pelajaran mencintai, jalinan persahabatan, kepedulian, keberanian yang berpadu dengan kecerdasan, kebahagiaan, dan embrio lahirnya manusia besar. Bagai mata air kebijaksanaan perlahan mengalir di alam pikiran, lalu menyentuh ruang kesadaran.

Film ini begitu sarat makna, membawa banyak pesan moril bagi dunia pendidikan. Di samping mengkritik juga memberi masukan atas kemapanan dunia pendidikan kekinian. Sebuah film yang mestinya menjadi tontonan "wajib" baik bagi anak didik, orang tua, guru, dosen atau bagi siapa saja yang hendak memetik pelajaran, termasuk penentu kebijakan dalam dunia pendidikan.

Film India ini disutradari Rajkumar Hirani. Adapun 3 Idiots yang dimaksud ialah Amir Khan selaku Ranchoddas Shamaldas Chanchad alias Phunsuk Wangdu, sebagai bintang utama. Dua idiots lainnya ialah R Madhavan sebagai Farhan Qureshi dan Sharman Joshi sebagai Raju Rastogi.

Setelah penulis menonton, ternyata istilah atau label "idiots" tidaklah benar dialamatkan kepada tiga tokoh utama tersebut. Justru ketiga tokoh utama adalah seorang yang begitu jenius dan kreatif. Kata "idiots" hanyalah sebuah istilah yang sengaja diproduksi agar menyensor pemikiran dan karakter tertentu.

Di mana bahasa atau istilah (idiots) diciptakan untuk mempertahankan status quo dalam dunia pendidikan. Bahwa mahasiswa yang berbeda dari kebanyakan dianggap sebagai tipikal mahasiswa yang tidak layak untuk diteladani, contoh mahasiswa yang akan gagal meraih kesuksesan.

Pemeran lainnya dalam film tersebut ialah Karina Kapoor selaku Phia Sahastrebuddhe yang berprofesi sebagai dokter. Sebelum bertemu dengan Rancho, dia betul-betul hanya menjadi dokter konservatif yang tidak menjiwai etika kedokteran yang semestinya melayani kemanusiaan dengan keahliannya.

Setelah dekat dengan Rancho, dia mulai memahami bahwa seorang dokter tidak boleh kaku dalam melayani seorang pasien, tidak mempersulit secara administratif pasien yang kritis.

Phia sekaligus sebagai anak gadis dari Dr Viru Shastrabhuddi yang kemudian oleh mahasiswanya dipelesetkan menjadi Dr Virus. Dia adalah seorang dosen yang cara mengajarnya kaku. Dia mewakili karakter dosen lainnya.

Tak heran karena sikapnya yang egois dan arogan dalam memaksakan setiap kehendaknya kepada mahasiswanya, misalnya harus memperoleh nilai yang tinggi dalam setiap ujian, akhirnya membuat salah seorang mahasiswanya bunuh diri karena selalu gagal dalam setiap ujian. Virus juga sekaligus sebagai Rektor ICE (Imperial College of Engineering), perguruan tinggi di mana ketiga "idiots" tersebut kuliah.

Pelajaran Bagi Kita

Hemat penulis, berikut beberapa pelajaran penting yang dapat dipetik dari film tersebut dalam kaitannya dengan dunia pendidikan kita, antara lain, Pertama, pendidikan bukanlah sekadar mendapatkan nilai yang tinggi, mendapatkan ijazah, sebagai bekal memasuki dunia kerja. "Jangan mengejar kesuksesan.

Jadilah orang besar, kesuksesan akan mengikutimu" demikian kata Rancho. Toh banyak yang nilai ijazahnya tinggi, bertitel panjang, tetapi tidak banyak mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan bagi masyarakat sekitarnya.

Untuk masalah ini, tiba-tiba penulis teringat dengan nasihat Ishak Ngeljaratan dalam sebuah diskusi tentang multikulturalisme. "Kita belajar bukan hanya untuk pintar, tetapi bagaimana kepintaran itu dapat menuntun kita untuk berbuat baik, berguna bagi orang lain".

Kedua, metode pembelajaran yang mencerahkan peserta didik bukanlah dengan menghapal, melainkan dengan memahami. Sistem pembelajaran yang mengandalkan hapalan, menurut Rancho hanya akan mencetak "robot-robot" yang tidak memiliki daya kritis.

Penulis mengistilahkannya dengan cara belajar "burung beo", di mana burung beo tahu menghapal kata tetapi tidak memahami makna dari kata-kata yang dihapal. Mungkin bisa dibayangkan, andai metode menghapal efektif melejitkan kecerdasan, barangkali kita telah menjadi orang yang sangat cerdas karena sejak SD hingga perguruan tinggi kita selalu menghapal segudang teori demi ambisi mendapatkan nilai yang tinggi pada setiap ulangan harian dan ujian semester.

Ketiga, orang tua yang terlalu memaksakan kehendaknya kepada sang anak. Seperti dalam hal memilih jurusan, tanpa melihat pada bidang dan jurusan mana sang anak itu berbakat. Di sini, seolah-olah film ini ingin pula mengkritik mainstream cara berpikir orang tua yang larut dalam konsep-konsep hidup yang diproduksi oleh modernitas.

Misalnya; orang pintar dan sukses itu ialah yang bertitel, alumni perguruan tinggi ternama. Orang yang sukses dalam hidupnya ialah ketika bermimpi memiliki uang banyak, atau rumah yang mewah. Sebagai tangga untuk memperoleh semua itu, maka tugas utama seorang anak adalah belajar dengan baik, "patuh" kepada guru atau dosen, agar memperoleh nilai yang baik.

Nilai yang baik itu akan terakumulasi dalam ijazah sebagai bekal memasuki dunia kerja. Akhirnya yang tercipta betul-betul hanyalah persaingan di kalangan peserta didik agar memperoleh nilai yang tinggi.

Dalam suasana persaingan akan memunculkan rasa ingin mendominasi. Selain itu, anak didik juga akan dihantui rasa takut dan tekanan psikologis. Dan ketika kalah bersaing dalam memperoleh nilai yang tinggi, niscaya akan muncul rasa bersalah yang besar.

Pada titik inilah sang anak rawan berbuat nekad, bisa jadi jika tak tahan stres sang anak akan bunuh diri lantaran berpadunya rasa cemas, rasa takut, dan rasa malu terhadap orang tua, guru dan temannya. Watak pendidikan seperti ini di samping memiliki efek psikologis, tentu sangat kapitalistik yang memandang tujuan akhir dari pendidikan adalah untuk menumpuk materi.

Keempat, dalam suasana persaingan memperoleh nilai yang tinggi, peserta didik tentu akan menjadi manusia-manusia yang individualis. Karena hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk memikirkan cara memperoleh nilai tersebut.

Akhirnya peserta didik akan menjadi manusia-manusia yang tidak memiliki kemerdekaan berpikir dan kurang memiliki kepedulian sosial. Hal ini pernah diajarkan oleh bapak pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara, bahwa sekolah haruslah menjadi tempat yang nyaman bagi anak didik, taman yang menyenangkan.

Tempat mekarnya bunga-bunga bangsa. Sekolah (perguruan tinggi) tidak boleh menjadikan anak didik menjadi seorang yang individualis, tetapi mendidiknya menjadi manusia yang memiliki kepedulian sosial atau semangat nasionalisme (Muh. Yamin, 2009).

Kelima, film "3 Idiots" juga berpesan, betapa pentingnya menumbuhkembangkan kreativitas. Kreativitas tentu bisa menjadi salah satu modal utama bagi seseorang agar mampu mengatasi setiap kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam hidup, termasuk kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan materil.

Kritik film ini, sebenarnya kurang lebih sama dengan pandangan tokoh pendidikan Brazil bernama Paulo Freire, yang menyebut metode menghapal dalam pembelajaran sebagai metode yang tidak membebaskan anak didik.

Freire menyebutnya banking education, di mana pengajar melihat anak didik seperti bank yang siap ditabungi pengetahuan. Karenanya Freire mengajukan alternatif sistem pendidikan yang dia istilahkan dengan sistem dialog yang menempatkan anak didik dan pendidik sama-sama sebagai subjek belajar dan objeknya adalah pelajaran (realitas dunia) itu sendiri. (Listiyono Santoso, dkk, 2007).

Akhirnya, semoga saja seluruh elemen pendidikan terutama rekan-rekan guru, dosen, orang tua dan pemerintah tidaklah menutup diri dengan kritik-kritik baru seputar dunia pendidikan. Demi pengembangan kualitas dunia pendidikan kita ke depan. 




Komentar

  1. Τhanκ you a lot for ѕhаring this with аll folks уou аctuаlly recognіse what you're talking approximately! Bookmarked. Please additionally talk over with my website =). We will have a link change agreement between us

    Feel free to visit my site :: wiki-ins.org
    Also see my web site - monrezo360.Com

    BalasHapus
  2. Nevеrtheless, it саn bе a impгoveԁ waу to try to quit than by mаking use of other lоzеnges oг patches.


    Μу wеb page :: wr.lib.tsinghua.edu.cn

    BalasHapus

Posting Komentar

jangan sungkan untuk berkomentar ya :)

Postingan Populer